Daftar Blog Saya

Kamis, 24 Mei 2018


Kemandirian Versus Kemajuan


Z
aman boleh berubah seiring dengan perubahan peradaban yang berlangsung . akan tetapi nilai-nilai pendidikan yang harus ditanamkan pada anak didik kita tetaplah sama. Demikian juga nilai kemandirian yang merupakan karakter sangatlah ugen dimasa dulu maupun sekarang agar anak-anak kita nantinya dapat menyesuaikan dengan keadaan alam yang beragam.
Dulu nilai kemandirian dalam pendidikan kepanduan sangatlah ditekankan . Dengan adanya perkemahan dimana anak didik berlatih hidup mandiri dilingkungan alam dengan keterbatasan yang ada. Peserta kemah harus mencari air sendiri, memasak sendiri, mencuci baju dan menjemurnya sampai kering, itu semua dilakukan sendiri . Memasak air mengambil air dari mata air yang jaraknya tidak dekat dan membawanya dengan kekuatan yang dimiliki. Nasi dimasak dan dimakan sendiri, laukpun dibuat sendiri entah bagaimanapun rasanya tapi itu hasil jerih payah sendiri maka kenikmatanya lebih dari masakan rumah makan manapun. Baju yang digunakan dicuci dan dijemur sampai kering untuk dipakai lagi. Semuanya menggunakan sarana yang ada dan disediakan oleh alam sehingga pepatah “ Taka da rotan akarpun jadi “ menjadi sangat kental dan tertanam dalam hati. Semua penerangan menggunakan cahaya alami yang mereka siapkan sendiri tanpa listrik dan alat komunikaasi .Betapa hebat semangat dan bangganya mereka setelah pulang dari perkemahan bagaikan pahlawan pulang dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan.
Bagaimanakah pendidikan kemandirian melalui perkemahan dimasa sekarang ini ?
Anak-anak kita sudah terbiasa dilatih hidup enak dengan dukungan energy dan teknologi sehingga ketergantungan mereka dengan dua hal ini tidak dapat dihindari. Ketiadaan energy menjadi kiamat yang pertamakali mematikan kreasi. Dimasa sekarang anak berkemah menggunakan tenda setelan yang tinggal pasang, sudah disediakan papan kayu untuk mengatasi permukaan tanah yang tidak rata dan kadang becek, penerangan menggunakan listrik yang sudah tersedia , air minum sudah membawa dengan gallon yang sudah terisi. Makan sudah dipesan menggunakan catering yang sudah siap diantar tiga kali sehari dengan menu yang sudah diatur bervariasi.
Banyak nilai kemandirian yang gagal ditanamkan pada kegiatan perkemahan ini. Tidak ada kegiatan memasak, mencuci, mandi dikali, bahkan tidurpun sudah siap dengan alas empuk seperti dirumah sendiri. Prestasi yang dijadikan tolok ukur kesuksesan kegiatan ini. Bahkan anak sudah enggan lagi bersosialisasi karena merka sudah punya komunitas sendiri melalui alat komunikasi. Berkumpul bersamapun masing-masing sibuk memainkan jari. Kenangan yang diperoleh dari kegiatan ini hanya terbukti dari foto selfi.
Inikah potret kepanduan masa kini ?

Senin, 21 Mei 2018


MENDIDIK DENGAN PENDEKATAN REFLEKSI
Oleh : Mardiyanto
Guru SMK Muhammadiyah 2 Ajibarang

Dalam proses pendiidikan masa lalu bahkan mungkin masih berlaku sampai sekarang yang menjadi obyek pendidikan adalah siswa. Yang lebih ekstrim lagi siswa menjadi kambing hitam atas hasil yang bersifat negative tanpa kita pernah merefleksi pada si pendidik. Hampir semua kesalahan ada pada siswa. Sehingga munculah banyak istilah pendidikan seperti pendidikan karakter, kurikulum berbasis kompetensi, metode pembelajaran , model pembelajaran dan segudang istilah pendidikan yang lain yang semuanya bermuara pada bagaimana siswa bla…bla…bla.

Adakah kita pernah merefleksi terhadap para pendidik itu sendiri ? Apa yang dilakukan siswa adalah sebagian besar meniru pendahulunya termasuk gurunya. Siswa adalah kaca benggala dagi guru sehingga tidak salah kalau orang jawa mengidiomkan bahwa guru itu digugu dan  ditiru. Lebih keras lagi “ guru kencing berdiri murid kencing berlari “. Kejelekan sekecil apapun seorang guru akan berimbas pada karakter siswanya dengan porsi yang lebih besar.

Jika dalam sekolah kita banyak sekali siswa terlambat , paling  kita hanya  menyelusuri mengapa siswa kita banyak yang terlambat ? Pernahkah kita berfikir bahwa banyaknya  siswa kita terlambat apakah karena guru kita juga sering datang terlambat ?
Ketika tiba musim ujian semester atau ulangan tengah semester kita heboh dengan hasil yang jelek , siswa kita malas belajar, malas membaca, malas mengerjakan tugas , suka nyontek, dan ngepek , dan sebagainya. Kita bahkan lupa bahwa pada saat yang sama ketika ada Ujian Kompetensi Guru ( UKG ) hasilnya diluar dugaan hanya lulus dengan prosentase yang sangat kecil alias hasilnya jelek. Banyak guru kita yang tidak suka membaca dan enggan belajar lagi untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi dirinya. Ilmu  yang diajarkan dari tahun ke tahun ya hanya itu-itu saja, dan bukunya masih tetap pakai yang lama tanpa up grade maupun up  date .  

Apakah guru mengajar menggunakan persiapan administrasi pembelajaran yang dibuat sendiri atau minimal memodifikasi dari yang sudah ada atau tinggal copy paste dan ganti nama ? apa bedanya dengan siswa kita , barangkali  siswa kita yang nyontek  mungkin karena dilahirkan dari kita sebagai pendidik yang juga suka menyontek alias copy paste.

Jadi pendekatan Refleksi yang saya maksud dalam tulisan saya adalah jika kita akan menciptakan sesuatu yang baik maka kita harus menciptakan diri kita sebagai pribadi yang berkarakter baik terlebih dahulu . Jika kita akan menanamkan sikap disiplin maka kita harus disiplin terlebih dahulu. Sehingga kegiatan Belajar Mengajar itu dalam makna yang lebih luas bukan hanya siswa yang belajar dan guru yang mengajar saja akan tetapi  guru belajar bagaimana mengajar dan siswa belajar menerima pelajaran dan mengaplikasikanya dalam kegiatan.

Barangkali kita juga terlahir dari generasi yang bermodel seperti itu dari orang tua kita. Banyak jargon yang dari dulu kita kenal : “ Sekolah sing pinter aja kaya Bapakmu . “  Kita terdidik jangan sama dengan senior kita . Mungkin kita tidak akan  atau tidak berani berkata pada siswa kita “ Belajar yang rajin biar pandai tidak seperti pak Guru .”

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi bagi saya pribadi sebagai seorang pendidik dan bermanfaat bagi para pendidik pada umumnya.
Persembahan akhir tahun 2017 , semoga tahun yang akan datang lebih berkesan.

Selasa, 15 Mei 2018


BUDAYA KONVOI PASCA KELULUSAN

Mardiyanto
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Pendidikan Vokasi UAD


Pada dasarnya dikenal dua  teori persekolahan yaitu teori struktural fungsional yang dipelopori oleh Emile Durkheim  dan teori konflik yang dipelopori oleh Max Weber. Dalam  perkembangannya menjadi dasar teori persekolahan, karena melihat sekolah sebagai institusi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang menjadi pure wilayah kajian sosiologi. Emile Durkheim dalam salah satu teorinya tentang gerakan sosial menyebutkan kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu melalui berbagai symbol dan norma sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok.  (Novri Susan, 2009; 45).

Dalam dunia persekolahan, teori struktural fungsional memandang sekolah sebagai arena mewujudkan keteraturan sosial. Menurut teori ini, sekolah merupakan sebuah kesatuan sistem dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan dengan memiliki fungsi dan peran masing-masing. Sebagai suatu sistem, fungsi dari masing-masing bagian mewujudkan tatanan menjadi seimbang. Bagian tersebut saling ketergantungan antara satu dengan yang lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi akan merusak keseimbangan sistem.

 

Di sekolah ada guru, ada siswa, dan ada interaksi yang melibatkan guru dan siswa. Apabila ada salah satu yang tidak berfungsi secara maskimal, maka kualitas pembelajaran tidak akan maksimal. Demikian halnya ada lingkungan sekolah, lingkungan kelas, ada fasilitas sekolah dan ada sumber belajar. Masing-masing komponen tersebut mempunyai peran dan ikut mempengaruhi prestasi sekolah. Melalui teori struktural fungsional, sekolah mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan masyarakat menjadi cerdas, berbudaya, memelihara keteraturan, serta mewujudkan pembangunan. Tanpa sekolah, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam berkembang, tidak akan tumbuh menjadi dewasa dan cerdas, dan tidak akan bermanfaat serta tidak akan ikut berpartisipasi dalam pembangunan.

 

Dengan demikian, menurut teori ini sekolah menjadi hal yang niscaya dalam masyarakat, melalui sekolah masyarakat dapat berkembang, dapat berubah, dan dapat menjadi lebih baik. Sehingga, ketika sekolah memberlakukan asas kesetaraan dan kesamaan kesempatan untuk belajar, pembagian kelas yang merata dan adil, tidak ada seleksi masuk, mekanisme perengkingan dihilangkan, menganggap semua siswa memiliki bakat dan potensi yang sama untuk dikembangkan, menunjukan dominannya teori struktural fungsional dalam pengelolaan sekolah.


Dalam perspektif teori konflik, tradisi coret-coret seragam sebagai perhelatan besar  pelulusan menjadi hal yang biasa karena menjadi wahana ekspresi kegembiraan setelah menamatkan pendidikan selama kurun waktu tiga tahun. Tetapi, dalam sudut pandang teori struktural fungsional, tradisi tersebut dapat menjadi bukti lemahnya peran sekolah dalam mewujudkan keteraturan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

 

Situasi pengumuman pelulusan menunjukkan bahwa sekolah tidak mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan orang tua murid. Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan fungsi sekolah agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tiga fungsi pokok sekolah adalah :

 Pertama, sharing (berbagi). Melalui sekolah, baik antara siswa dengan siswa atau antara siswa dangan guru dapat saling berbagi. Guru dapat berbagi pengalaman kepada siswa, siswa juga dapat berbagi pengalamannya kepada guru atau kepada sesama siswa. Terkadang, siswa memiliki keterbatasan dalam mengelola pengalaman untuk mendapatkan nilai positif, disini sangat penting untuk saling berbagi. Dengan langkah ini, siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang lebih komplit. 

 

Kedua caring (peduli). Langkah ini dapat menjadi cara yang tepat untuk memahami berbagai persoalan yang dihadapi oleh siswa. Hampir semua siswa mempunyai problem, apakah terkait dengan pribadi maupun keluarga atau dengan lingkungan sosialnya. Tetapi, terkadang mereka tidak menemukan tempat yang tepat untuk mencurahkan segala problem yang dihadapi. Melalui kegiatan peduli, hubungan siswa dengan guru atau siswa dengan sesama akan semakin lekat, dan melalui kegiatan peduli pula, siswa akan melihat sekolah sebagai tempat yang nyaman untuk mendapatkan solusi atas segala kepahitan yang dialami. Memberikan perhatian kepada sesama, atau perhatian dari guru ke siswa, akan menumbuhkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang kuat diantara sesama komunitas sekolah. 

 

Ketiga learning (belajar). Kegiatan ini akan terjadi, apabila ada interaksi-dialogis antara siswa dengan guru dan siswa dengan sesama siswa. Jika dalam kegiatan pembelajaran hanya guru yang aktif, maka yang terjadi adalah indoktrinasi. Oleh karena itu, peran guru yang dominan harus dikurangi. Posisi guru dan siswa sebaiknya adalah mitra, sehingga menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, melalui belajar, siswa akan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling baik dan nyaman untuk mengembangkan sikap dan prilaku, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan keterampilan demi mencapai kesuksesan.

 

Selama ini, fungsi sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi sharingcaring, dan learning masih sering terabaikan, perhatian sekolah lebih tertuju pada pencapaian target kurikulum sehingga hanya sebagian saja siswa yang dapat terdorong untuk belajar dan sukses.

 

Nampaknya, inilah yang menjadi penyebab mengapa tradisi coret-coret dalam setiap momen pelulusan belum bisa dihilangkan (oleh sebagian sekolah). Fungsi sekolah untuk memberikan sharingcaring, dan learning bagi peserta didik belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Apakah masyarakat sekolah dan lingkungan sekitar sekolah terutama wali siswa  menganggap bahwa  fenomena konvoi dan coret menyoret itu hal yang biasa sehingga kurang serius dalam menghimbau siswanya agar tidak melakukanya. Hampir dipastikan sekolah dan orang tua siswa pasti melakukan pelarangan pada anak agar tidak melakukan konvoi dan coret-menyoret akan tetapi seberapa seriuskah ?

 

Menurut pengamatan saya konvoi dan coret menyoret pasca kelulusan SMA/SMK tahun ini sepertinya agak menurun disbanding tahun sebelumnya terutama diwilayah sekitar saya . Apakah ini indicator  sekolah sudah dapat melaksanakan fungsi strukturalnya ? Atau mungkin juga bagi siswa sendiri kelulusan bukanlah hal yang istimewa karena hampir semua siswa yang telah mengikuti semua kegiatan evaluasi di sekolah dinyatakan lulus. Wallohu a’lam.