Daftar Blog Saya

Selasa, 15 Mei 2018


BUDAYA KONVOI PASCA KELULUSAN

Mardiyanto
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Pendidikan Vokasi UAD


Pada dasarnya dikenal dua  teori persekolahan yaitu teori struktural fungsional yang dipelopori oleh Emile Durkheim  dan teori konflik yang dipelopori oleh Max Weber. Dalam  perkembangannya menjadi dasar teori persekolahan, karena melihat sekolah sebagai institusi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang menjadi pure wilayah kajian sosiologi. Emile Durkheim dalam salah satu teorinya tentang gerakan sosial menyebutkan kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu melalui berbagai symbol dan norma sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok.  (Novri Susan, 2009; 45).

Dalam dunia persekolahan, teori struktural fungsional memandang sekolah sebagai arena mewujudkan keteraturan sosial. Menurut teori ini, sekolah merupakan sebuah kesatuan sistem dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan dengan memiliki fungsi dan peran masing-masing. Sebagai suatu sistem, fungsi dari masing-masing bagian mewujudkan tatanan menjadi seimbang. Bagian tersebut saling ketergantungan antara satu dengan yang lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi akan merusak keseimbangan sistem.

 

Di sekolah ada guru, ada siswa, dan ada interaksi yang melibatkan guru dan siswa. Apabila ada salah satu yang tidak berfungsi secara maskimal, maka kualitas pembelajaran tidak akan maksimal. Demikian halnya ada lingkungan sekolah, lingkungan kelas, ada fasilitas sekolah dan ada sumber belajar. Masing-masing komponen tersebut mempunyai peran dan ikut mempengaruhi prestasi sekolah. Melalui teori struktural fungsional, sekolah mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan masyarakat menjadi cerdas, berbudaya, memelihara keteraturan, serta mewujudkan pembangunan. Tanpa sekolah, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam berkembang, tidak akan tumbuh menjadi dewasa dan cerdas, dan tidak akan bermanfaat serta tidak akan ikut berpartisipasi dalam pembangunan.

 

Dengan demikian, menurut teori ini sekolah menjadi hal yang niscaya dalam masyarakat, melalui sekolah masyarakat dapat berkembang, dapat berubah, dan dapat menjadi lebih baik. Sehingga, ketika sekolah memberlakukan asas kesetaraan dan kesamaan kesempatan untuk belajar, pembagian kelas yang merata dan adil, tidak ada seleksi masuk, mekanisme perengkingan dihilangkan, menganggap semua siswa memiliki bakat dan potensi yang sama untuk dikembangkan, menunjukan dominannya teori struktural fungsional dalam pengelolaan sekolah.


Dalam perspektif teori konflik, tradisi coret-coret seragam sebagai perhelatan besar  pelulusan menjadi hal yang biasa karena menjadi wahana ekspresi kegembiraan setelah menamatkan pendidikan selama kurun waktu tiga tahun. Tetapi, dalam sudut pandang teori struktural fungsional, tradisi tersebut dapat menjadi bukti lemahnya peran sekolah dalam mewujudkan keteraturan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

 

Situasi pengumuman pelulusan menunjukkan bahwa sekolah tidak mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan orang tua murid. Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan fungsi sekolah agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tiga fungsi pokok sekolah adalah :

 Pertama, sharing (berbagi). Melalui sekolah, baik antara siswa dengan siswa atau antara siswa dangan guru dapat saling berbagi. Guru dapat berbagi pengalaman kepada siswa, siswa juga dapat berbagi pengalamannya kepada guru atau kepada sesama siswa. Terkadang, siswa memiliki keterbatasan dalam mengelola pengalaman untuk mendapatkan nilai positif, disini sangat penting untuk saling berbagi. Dengan langkah ini, siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang lebih komplit. 

 

Kedua caring (peduli). Langkah ini dapat menjadi cara yang tepat untuk memahami berbagai persoalan yang dihadapi oleh siswa. Hampir semua siswa mempunyai problem, apakah terkait dengan pribadi maupun keluarga atau dengan lingkungan sosialnya. Tetapi, terkadang mereka tidak menemukan tempat yang tepat untuk mencurahkan segala problem yang dihadapi. Melalui kegiatan peduli, hubungan siswa dengan guru atau siswa dengan sesama akan semakin lekat, dan melalui kegiatan peduli pula, siswa akan melihat sekolah sebagai tempat yang nyaman untuk mendapatkan solusi atas segala kepahitan yang dialami. Memberikan perhatian kepada sesama, atau perhatian dari guru ke siswa, akan menumbuhkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang kuat diantara sesama komunitas sekolah. 

 

Ketiga learning (belajar). Kegiatan ini akan terjadi, apabila ada interaksi-dialogis antara siswa dengan guru dan siswa dengan sesama siswa. Jika dalam kegiatan pembelajaran hanya guru yang aktif, maka yang terjadi adalah indoktrinasi. Oleh karena itu, peran guru yang dominan harus dikurangi. Posisi guru dan siswa sebaiknya adalah mitra, sehingga menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, melalui belajar, siswa akan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling baik dan nyaman untuk mengembangkan sikap dan prilaku, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan keterampilan demi mencapai kesuksesan.

 

Selama ini, fungsi sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi sharingcaring, dan learning masih sering terabaikan, perhatian sekolah lebih tertuju pada pencapaian target kurikulum sehingga hanya sebagian saja siswa yang dapat terdorong untuk belajar dan sukses.

 

Nampaknya, inilah yang menjadi penyebab mengapa tradisi coret-coret dalam setiap momen pelulusan belum bisa dihilangkan (oleh sebagian sekolah). Fungsi sekolah untuk memberikan sharingcaring, dan learning bagi peserta didik belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Apakah masyarakat sekolah dan lingkungan sekitar sekolah terutama wali siswa  menganggap bahwa  fenomena konvoi dan coret menyoret itu hal yang biasa sehingga kurang serius dalam menghimbau siswanya agar tidak melakukanya. Hampir dipastikan sekolah dan orang tua siswa pasti melakukan pelarangan pada anak agar tidak melakukan konvoi dan coret-menyoret akan tetapi seberapa seriuskah ?

 

Menurut pengamatan saya konvoi dan coret menyoret pasca kelulusan SMA/SMK tahun ini sepertinya agak menurun disbanding tahun sebelumnya terutama diwilayah sekitar saya . Apakah ini indicator  sekolah sudah dapat melaksanakan fungsi strukturalnya ? Atau mungkin juga bagi siswa sendiri kelulusan bukanlah hal yang istimewa karena hampir semua siswa yang telah mengikuti semua kegiatan evaluasi di sekolah dinyatakan lulus. Wallohu a’lam.



Tidak ada komentar: