BUDAYA
KONVOI PASCA KELULUSAN
Mardiyanto
Mahasiswa
Pasca Sarjana Magister Pendidikan Vokasi UAD
Pada
dasarnya dikenal dua teori persekolahan
yaitu teori struktural fungsional yang dipelopori oleh Emile Durkheim dan
teori konflik yang dipelopori oleh Max Weber. Dalam perkembangannya menjadi dasar teori
persekolahan, karena melihat sekolah sebagai institusi yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat yang menjadi pure wilayah kajian sosiologi.
Emile Durkheim dalam salah satu teorinya tentang gerakan sosial menyebutkan
kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu melalui berbagai symbol dan
norma sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur mendasar dari terjaganya
eksistensi kelompok. (Novri Susan, 2009;
45).
Dalam dunia persekolahan, teori struktural
fungsional memandang sekolah sebagai arena mewujudkan keteraturan sosial.
Menurut teori ini, sekolah merupakan sebuah kesatuan sistem dimana di dalamnya
terdapat bagian-bagian yang dibedakan dengan memiliki fungsi dan peran
masing-masing. Sebagai suatu sistem, fungsi dari masing-masing bagian
mewujudkan tatanan menjadi seimbang. Bagian tersebut saling ketergantungan
antara satu dengan yang lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi akan merusak keseimbangan sistem.
Di sekolah ada guru, ada siswa, dan ada
interaksi yang melibatkan guru dan siswa. Apabila ada salah satu yang tidak
berfungsi secara maskimal, maka kualitas pembelajaran tidak akan maksimal.
Demikian halnya ada lingkungan sekolah, lingkungan kelas, ada fasilitas sekolah
dan ada sumber belajar. Masing-masing komponen tersebut mempunyai peran dan
ikut mempengaruhi prestasi sekolah. Melalui teori struktural fungsional,
sekolah mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan masyarakat menjadi
cerdas, berbudaya, memelihara keteraturan, serta mewujudkan pembangunan. Tanpa
sekolah, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam berkembang, tidak akan
tumbuh menjadi dewasa dan cerdas, dan tidak akan bermanfaat serta tidak akan
ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
Dengan demikian, menurut teori ini sekolah
menjadi hal yang niscaya dalam masyarakat, melalui sekolah masyarakat dapat
berkembang, dapat berubah, dan dapat menjadi lebih baik. Sehingga, ketika
sekolah memberlakukan asas kesetaraan dan kesamaan kesempatan untuk belajar,
pembagian kelas yang merata dan adil, tidak ada seleksi masuk, mekanisme
perengkingan dihilangkan, menganggap semua siswa memiliki bakat dan potensi
yang sama untuk dikembangkan, menunjukan dominannya teori struktural fungsional
dalam pengelolaan sekolah.
Dalam perspektif teori konflik, tradisi
coret-coret seragam sebagai perhelatan besar pelulusan menjadi hal yang biasa karena
menjadi wahana ekspresi kegembiraan setelah menamatkan pendidikan selama kurun
waktu tiga tahun. Tetapi, dalam sudut pandang teori struktural fungsional,
tradisi tersebut dapat menjadi bukti lemahnya peran sekolah dalam mewujudkan
keteraturan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Situasi pengumuman pelulusan menunjukkan bahwa
sekolah tidak mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan orang tua murid. Oleh
karena itu, penting untuk mengembalikan fungsi sekolah agar dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Tiga fungsi pokok sekolah adalah :
Pertama, sharing (berbagi).
Melalui sekolah, baik antara siswa dengan siswa atau antara siswa dangan guru
dapat saling berbagi. Guru dapat berbagi pengalaman kepada siswa, siswa juga
dapat berbagi pengalamannya kepada guru atau kepada sesama siswa. Terkadang,
siswa memiliki keterbatasan dalam mengelola pengalaman untuk mendapatkan nilai
positif, disini sangat penting untuk saling berbagi. Dengan langkah ini, siswa
akan memperoleh pengalaman belajar yang lebih komplit.
Kedua caring (peduli). Langkah ini dapat
menjadi cara yang tepat untuk memahami berbagai persoalan yang dihadapi oleh
siswa. Hampir semua siswa mempunyai problem, apakah terkait dengan pribadi
maupun keluarga atau dengan lingkungan sosialnya. Tetapi, terkadang mereka
tidak menemukan tempat yang tepat untuk mencurahkan segala problem yang
dihadapi. Melalui kegiatan peduli, hubungan siswa dengan guru atau siswa dengan
sesama akan semakin lekat, dan melalui kegiatan peduli pula, siswa akan melihat
sekolah sebagai tempat yang nyaman untuk mendapatkan solusi atas segala
kepahitan yang dialami. Memberikan perhatian kepada sesama, atau perhatian dari
guru ke siswa, akan menumbuhkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang kuat
diantara sesama komunitas sekolah.
Ketiga learning (belajar). Kegiatan ini
akan terjadi, apabila ada interaksi-dialogis antara siswa dengan guru dan siswa
dengan sesama siswa. Jika dalam kegiatan pembelajaran hanya guru yang aktif,
maka yang terjadi adalah indoktrinasi. Oleh karena itu, peran guru yang dominan
harus dikurangi. Posisi guru dan siswa sebaiknya adalah mitra, sehingga
menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, melalui
belajar, siswa akan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling baik dan
nyaman untuk mengembangkan sikap dan prilaku, mengembangkan pengetahuan, dan
mengembangkan keterampilan demi mencapai kesuksesan.
Selama ini, fungsi sekolah belum berjalan
sebagaimana mestinya. Fungsi sharing, caring, dan learning masih sering
terabaikan, perhatian sekolah lebih tertuju pada pencapaian target kurikulum
sehingga hanya sebagian saja siswa yang dapat terdorong untuk belajar dan sukses.
Nampaknya, inilah yang menjadi penyebab mengapa
tradisi coret-coret dalam setiap momen pelulusan belum bisa dihilangkan (oleh
sebagian sekolah). Fungsi sekolah untuk memberikan sharing, caring, dan learning bagi peserta didik
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Apakah masyarakat sekolah dan lingkungan
sekitar sekolah terutama wali siswa
menganggap bahwa fenomena konvoi
dan coret menyoret itu hal yang biasa sehingga kurang serius dalam menghimbau
siswanya agar tidak melakukanya. Hampir dipastikan sekolah dan orang tua siswa
pasti melakukan pelarangan pada anak agar tidak melakukan konvoi dan
coret-menyoret akan tetapi seberapa seriuskah ?
Menurut pengamatan saya konvoi dan coret
menyoret pasca kelulusan SMA/SMK tahun ini sepertinya agak menurun disbanding
tahun sebelumnya terutama diwilayah sekitar saya . Apakah ini indicator sekolah sudah dapat melaksanakan fungsi
strukturalnya ? Atau mungkin juga bagi siswa sendiri kelulusan bukanlah hal
yang istimewa karena hampir semua siswa yang telah mengikuti semua kegiatan
evaluasi di sekolah dinyatakan lulus. Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar